JAKARTA – Sesuai rumusnya bencana adalah ketika bahaya ancaman bertemu dengan kerentanan dibagi kapasistas. “Kita mengerjakan apa yang disebut kapasitas. Maka yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kapasitasnya. Melihat bencana dari sisi kapasitas” kata Prof.Dr.Syamsul Maarif,M.Si pada seminar umum kepegawaian bertemakan Membangun Sikap dan Mentalitas Pegawai BNPB dalam Penanggulangan Bencana, di lantai 15, Graha BNPB, Rabu (24/7).

Dalam sambutan Sekretaris Utama BNPB Doddy Ruswandi, mengatakan BNPB mempunyai satu ruangan khusus untuk teaching class. sehingga memudahkan transfer knowledge dan mendidik generasi penerus BNPB. “Adanya Profesor Syamsul Maarif sebagai pembicara, akan menambah pengetahuan kita untuk mengupdate perkembangan dan tantangan penanganan bencana ke depan” ucapnya.

Seminar umum yang dimoderatori oleh Kepala Biro Umum Bagus Tjahjono, dengan narasumber tunggal Kepala BNPB periode 2008-2015 ini. Dalam seminarnya ia mengajak peserta untuk memiliki mental yang kuat dalam menangani bencana. “Jangan Anda merasa lemah kalau ada bahaya atau krisis,” tegasnya. Karena krisis dapat membedakan apakah kita bisa menjadi pemimpin atau pemimpin tanpa tindakan. Krisis memunculkan urgensi, persepsi ancaman disertai ketidakpastian yang tinggi. Krisis adalah produk yang dihasilkan oleh persepsi. “Jangan sekali-sekali mendefinisikan persepsi. Karena belum tentu menangani krisis yang terjadi sesuai dengan persepsi kita,” tambahnya.

Tidak hanya mengajak untuk bermental kuat dalam menangani bencana, seseorang harus dapat memberikan informasi yang bermakna bagi masyarakat, agar masyarakat semakin paham mengenai bencana. Seperti memahami manajemen krisis, antara lain (1) Kepekaan karena ekskalatif, (2) Keputusan, bukan koordinasi tetapi komando, (3) Informasi, segera dan bermakna, (4). Hentikan: stabilkan kembali, (5). Pembelajaran: organisasi, kebijakan dan hukum.

“Sikap mental yang disarankan adalah melihat masa depan dari masa depan, good to great atau belajar dari musuh yang hebat dan sikap mental Agile (tangkas)” ungkap Syamsul yang juga guru besar Universitas Pertahanan.

Melihat masa depan dari masa depan adalah melihat bencana dari aspek perkembangan budaya dan masyarakat di masa depan yang berbeda-beda. Kemudian pelajari “kondisi” yang menghasilkan bencana dari pada menemukan karateristik fenomenanya. Serta perhatian khusus pada komposisi demografis dengan data kuantitatif kepadatan penduduk dan kemiskinan di daerah rawan bencana yang terus menerus bertambah.

Sikap Mental  agile (tangkas) dalam penanggulangan bencana adalah mampu mengidentifikasi masalah dan peluang, bergerak menindaklanjutinya dan melaksanakan keduanya tanpa henti dan dalam periode yang singkat. “Buat goalsnya dulu lalu tentukan strateginya” katanya.

Professor Sosiologi ini juga mengenalkan Sapalibatisme sejak menjadi Kepala BNPB. Sapa berarti menyapa dan berempati terhadap masyarakat korban/terpapar. Menemukan dan kenali masalah-masalah sosial setempat. Menemukan dan kenali apa yang diketahui, apa yang dipunyai, dan apa yang dibutuhkan masyarakat.  Serta kerjasama untuk meningkatkan kapasitas.

Libat dalam artian melibatkan orang-orang yang berkompeten dalam bidang tertentu untuk mencapai hasil maksimal. Memberi warna baru yang lebih baik, yang berbeda dari konsep-konsep sebelumnya. “Contohnya seperti Pentahelix yang digagas Kepala BNPB saat ini” ujarnya.

Dalam akhir seminar, Syamsul Maarif mengingatkan untuk selalu berkembang dan melihat bencana dari aspek perkembangan budaya dan masyarakat di masa depan yang berbeda-beda dengan kepimpinan yang hati-hati.

Humas BNPB

Syamsul Maarif : Melihat Bencana dari Sisi Kapasitas