JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama berbagai pihak menyelenggarakan sosialisasi dalam rangka persiapan pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional 2017 pada Jumat (17/3) di Graha BNPB, Jakarta Timur. BNPB menginisiasi tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN), yang bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana.
Hadir dalam acara sosialisasi Persiapan dan Pencanangan HKBN, Kepala BNPB Willem Rampangilei beserta para pejabat elselon I dan II BNPB, kementerian/lembaga, jajaran TNI/Polri, Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Barat, Kepala Pelaksana BPBD provinisi, kabupaten dan kota, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat nasional dan internasional yang selama ini banyak berperan dalam membantu saat respon tanggap darurat, perguruan tinggi dan tamu undangan lain.
Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Medi Herlianto menyampaikan bahwa kegiatan utama pada HKBN adalah dilaksanakannya latihan atau simulasi serentak di seluruh wilayah Indonesia. Dalam mempersiapkan kegiatan HKBN, BNPB telah menyelenggarakan beberapa kegiatan seperti audiensi dan sosialisasi dengan beberapa stakeholders kunci yang dapat menyukseskan kegiatan ini. Stakeholders tersebut mencakup TNI, Polri, 14 kementerian/lembaga, 30 Lembaga Swadaya Masyarakat, 16 lembaga usaha, lembaga internasional dan perguruan tinggi, serta penggiat atau militansi kebencanaan lain agar dapat menjadi agent of change penggerak masyarakat untuk berpartisipasi pada latihan/simulasi serentak yang akan dilaksanakan pada 26 April 2017 mendatang.
Selanjutnya, Kepala BNPB dalam arahan menyampaikan bahwa pilihan tanggal 26 April 2017, sekaligus dalam rangka memperingati 10 tahun lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 tahun 2007. Undang-undang ini sangat penting karena mengubah cara pandang menyikapi bencana yang semula respon menuju paradigma pengurangan risiko bencana. Kepala BNPB berharap semua pihak yang hadir dapat mendukung kegiatan ini dengan melakukan latihan kesiapsiagaan bencana secara serentak pada tanggal 26 April 2017, pukul 10.00 waktu setempat. “Upaya pengurangan risiko bencana melalui latihan kesiapsiagaan, mitigasi struktural dan non struktural harus diperhitungkan sebagai investasi untuk keberlanjutan usaha dan pembangunan,” kata Willem Rampangilei.
Pada kesempatan tersebut Kepala BNPB juga menjelaskan terkait tren bencana kedepan terus cenderung meningkat, diantaranya 92% adalah bencana hidrometeorologi. Peningkatan bencana disebabkan oleh faktor alam dan antropogenik. Faktor alam meliputi dampak perubahan iklim global dimana frekuensi hujan ekstrim makin meningkat dan kerentanan lingkungan. Sedangkan, pengaruh antropogenik meliputi tingginya degradasi lingkungan, permukiman di daerah rawan bencana, DAS kritis, urbanisasi, dan lainnya.
Selain dapat kita ketahui rekapitulasi kejadian dan dampak bencana tahun 2016 dimana terjadi 2.384 bencana yang mengakibatkan 521 jiwa meninggal dunia dan hilang, 3,164 juta jiwa menderita dan mengungsi. Kerusakan dan kerugian akibat bencana tertinggi masih didominasi oleh gempa bumi dan diikuti oleh bencana banjir dengan rata-rata kerugian setiap tahun akibat bencana sekitar 30 trilyun rupiah. Berdasarkan hasil kajian risiko bencana tahun 2015 yang disusun oleh BNPB (inarisk.bnpb.go.id), potensi jumlah jiwa terpapar risiko bencana, jumlah kerugian fisik, ekonomi, dan lingkungan, berkategori sedang-tinggi yang tersebar di 34 provinsi, per jenis ancaman bencana adalah sebagai berikut: Cuaca Ekstrim (Puting Beliung) sebanyak 244 juta jiwa, diikuti dengan kekeringan sebanyak 228 juta jiwa, dan banjir sebanyak 100 juta jiwa, lalu gempa bumi sebanyak 86 juta jiwa, dan bencana tanah longsor sebesar 14 juta jiwa. Sedangkan untuk potensi kerugian fisik tertinggi untuk ancaman gempa bumi sebesar 467 milyar, dan banjir sebesar 176 milyar, tanah longsor sebesar 78 milyar.
Seterusnya untuk potensi dampak ekonomi tertinggi adalah kekeringan sebesar 192 milyar, diikuti dengan bencana gempa bumi sebesar 182 milyar, dan bencana banjir sebesar 140 milyar. Selain itu, untuk potensi dampak lingkungan tertinggi adalah ancaman bencana kekeringan 63 ribu hektar, diikuti oleh bencana kebakaran hutan dan lahan 42 ribu hektar, dan tanah longsor sebesar 42 ribu hektar
Diluar kejadian faktual tesebut, BNPB telah menyiapkan peta risiko bencana yang dapat menjelaskan jiwa terpapar, kerugian fisik, kerugian ekonomi, dan kerugian lingkungan yang mungkin dapat terjadi.
Penanganan bencana merupakan urusan semua pihak (everybody’s business). Oleh sebab itu perlu dilakukan berbagi peran dan tanggung jawab (shared responsibility) dalam peningkatan kesiapsiagaan di semua tingkatan baik untuk anak, remaja, dan dewasa. Seperti yang telah dilakukan di Jepang untuk menumbuhkan kesadaran kesiapsiagaan bencana.
Hasil penelitian dan survei di Jepang, Great Hansin Earthquake 1995, korban bencana yang dapat selamat dalam durasi “golden times” disebabkan oleh :
1. Kesiapsiagaan diri sendiri sebesar 35 %, 2. Dukungan anggota keluargasebesar 31,9 %, 3. Dukungan teman/tetangga sebesar 28,1%, 4. Dukungan orang disekitarnya sebesar 2,60%, 5. Dukungan Tim SAR sebesar 1,70 % dan 6. Lain-lain sebesar 0,90%.
“Sangatlah jelas bahwa berdasarkan hasil kajian tersebut, maka individu dan masyarakat merupakan kunci utama yang perlu terus ditingkatkan,” ujar Kepala BNPB.
Melihat kondisi seperti tersebut diatas, perlu adanya gerakan untuk merubah budaya dan paradigma yang sadar bencana, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan secara teratur dan berkelanjutan. “Kita akan mengukur sejauh mana kesiapan masing-masing pihak sesuai tema kesadaran, kewaspadaan, dan kesiap siagaan menghadapi bencana. Kami berharap kegiatan ini akan diikuti oleh jutaan masyarakat Indonesia dan dapat dilaksanakan melalui komitmen bersama kitasiap, untuk selamat,”jelas Willem Rapangilei mengakhiri paparan.