JAKARTA - Kemampuan masyarakat untuk memahami dan merespon peringatan dini secara tepat merupakan tantangan dalam pengembangan sistem peringatan dini. Hal tersebut disampaikan oleh Utusan Khusus PBB untuk Pengurangan Risiko  Bencana atau Special Representative of the United Nations Secretary General for Disaster Risk Reduction Mami Mizutori pada Rabu (29/5) di Graha BNPB, Jakarta Timur. Terkait dengan langkah masyarakat, Mami mengungkapkan hasil kajian terkait sistem peringatan dini pascabencana Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun lalu. Menurutnya, investasi dalam penelitian dan analisis pada aspek sosial dibutuhkan untuk lebih memahami persepsi risiko dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bertindak berdasarkan pesan peringatan. Alur dalam sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) akan menyentuh fase akhir yang krusial. “Ketika pesan-pesan diinformasikan kepada masyarakat berisiko untuk selanjutnya mendorong mereka untuk melakukan upaya yang tepat,” ujar Mami. “Efektivitas proses ini sering kali bisa menjadi sangat menentukan, yaitu antara hidup dan mati ketika terjadi bencana.” “Sistem ini juga menempatkan keterlibatan masyarakat dalam penilaian risiko sehingga mereka memiliki pemahaman penuh tentang risiko yang mereka hadapi di tingkat lokal dan tahu apa yang perlu mereka lakukan untuk mengurangi risiko ini,” tambah Mami Belajar dari bencana gempa Sulteng pada 2018 lalu, ribuan jiwa menjadi korban dan ratusan ribu rumah rusak. Data Pemerintah Provinsi Sulteng per 30 Januari 2019 mencatat korban meninggal dunia 2.685 jiwa, hilang 701, dan dikubur massal 1.016, sedangkan total kerusakan rumah mencapai 100.405 unit. Rincian rumah rusak yaitu hilang 4.050 unit, rusak berat 30.148, rusak sedang 26.122, dan rusak ringan 40.085. Namun demikian, Mami mengapresiasi langkah-langkah Indonesia dalam pengembangan sistem peringatan dini. Secara khusus, Mami memuji arahan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat sistem peringatan dini di Indonesia. “Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah konkret untuk meminimalkan risiko bencana, memperkuat kesiapsiagaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat,” lanjut Mami di hadapan peserta lokakarya dari kementerian/lembaga terkait dan mitra internasional BNPB. Mami berharap sistem itu nantinya dapat benar-benar menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan. Dalam konteks ini, United Nations for Disaster Risk Reduction (UNDRR) berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam pengembangan sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) tersebut. Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyampaikan bahwa pihaknya diminta oleh Presiden Jokowi untuk mengkoordinasikan perencanaan dan penyelenggaraan Multi-hazard Early Warning System. “Kami berharap sistem tersebut dapat memenuhi standarisasi sitem peringatan dini secara internasional dan berorientasi pada masyarakat,” ujar Doni. Doni menambahkan bahwa sistem yang dibangun mendapatkan dukungan state of the art tecnology, sistem observasi terintegrasi, dan proses pengolahan yang cepat, berbasis seamless process type of weather and climate prediction, melalui metode impact-based forecasting. Pada kesempatan itu, BNPB dan UNDRR menandatangani Deklarasi Kerja Sama dalam Pengelolaan Risiko Bencana. Kedua pihak sepakat untuk membangun kerja sama yang lebih erat dalam bidang pengelolaan risiko bencana. Selain itu, kerja sama ini dimaksudkan untuk (1) meningkatkan kapasitas dalam membangun strategi di tingkat nasional dan lokal; (2) mendorong penelitian, peningkatan ilmu pengetahuan, dan penerapan teknologi; (3) serta mempromosikan kerja sama di tingkat regional dan internasional dalam pengelolaan risiko bencana. Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB