SORONG – Kecenderungan kejadian bencana meningkat setiap tahun. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan kejadian bencana 2016 meningkat 36% dibandingkan kejadian bencana sebelumnya. Kecenderungan tersebut meningkat karena banyak faktor seperti degradasi lingkungan, pembangunan yang belum berbasis kajian risiko bencana, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan urbanisasi serta peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pembangunan. Dalam konteks ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei menyampaikan lima tantangan penanggulangan bencana kini. Willem mengatakan bahwa Bangsa Indonesia menghadapi risiko bencana yang cenderung meningkat. Data BNPB mencatat bahwa 1.835 kejadian bencana terjadi hingga pertengahan Oktober 2017, dengan jumlah korban meninggal dunia mencapai 254 jiwa dan jutaan warga menderita akibat bencana. Tantangan kedua yaitu kerentanan sosial. Bencana dapat memperlambat proses pembangunan. Saat ini jumlah angka kemiskinan masih menjadi permasalahan secara nasional. Belum lagi kerugian negara rata-rata mencapai Rp 30 trilyun per tahun akibat bencana. Terkait tantangan ketiga, sebagai focal point penanggulangan bencana di setiap tingkatan, Willem menegaskan pentingnya kapabilitas dan kapasitas baik BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) serta semua stakeholders yang dihadapkan pada tuntutan tugas. Secara khusus, tugas BNPB mengacu pada Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 serta berpedoman pada Nawacita. “Koordinasi, kolaborasi dan sinergitas antar stakeholders belum maksimal,” jelas Willem mengenai tantangan keempat yang disampaikan pada pembukaan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Aimas Convention Center, Sorong, Papua Barat, pada Senin (23/10). Tantangan terakhir yang disampaikan yaitu mengenai budaya sadar bencana yang masih belum merata. Pada tantang kelima ini, BNPB telah gencar dalam menyelenggarakan dan mengkampanyekan budaya sadar bencana secara masif kepada masyarakat, seperti melalui program desa tangguh bencana, sandiwara radio, pertunjukan tradisional, dan BNPB Mengajar.   Menghadapi tantangan tersebut, semua pihak, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha diharapkan untuk menjawab tantangan tersebut. Hal ini karena penanggulangan bencana adalah urusan setiap orang. Namun demikian, BNPB sebagai focal point penanggulangan bencana memandang perlu untuk melakukan reformasi birokrasi. “BNPB sedang merestrukturisasi organisasi,” kata Willem yang juga membuka Pameran PRB 2017 yang berlangsung di Alun-alun Aimas, Sorong pada hari yang sama (23/10). Di samping itu, BNPB dengan dukungan berbagai pihak tengah menyusun Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2045. Ini dilatarbelakangi penanggulangan bencana yang sudah masuk ke dalam prioritas pembangunan nasional. Di sisi lain, Willem juga mengatakan bahwa tugas penanggulangan bencana membutuhkan profesionalisme. Salah satu indikator kualitas pelayanan yang diberikan adalah kompetensi yang tersertifikasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, BNPB memandang perlu dibentuknya politeknik penanggulangan bencana dengan tiga fokus program studi, yaitu teknologi dan industri, transportasi serta logistik. Sementara itu, terkait dengan tantangan mengenai budaya sadar bencana, “Perubahan cara pandang dan perilaku nasional dalam menyikapi bencana dari responsif dan penyaluran bantuan menjadi pengurangan risiko bencana yang berbasis masyarakat.” “Ancaman menjadi peluang, serta pengeluaran untuk pengurangan risiko bencana harus diperhitungkan sebagai investasi ekonomi dan pembangunan,” demikian papar Willem mengakhir arahan dalam pembukaan Peringatan Bulan PRB di Sorong, Papua Barat. Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB