JAKARTA -  “Kunci awal dari upaya pengurangan risiko bencana adalah pemahaman risiko bencana.” Demikian dikatakan oleh Wisnu Widjaja, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB dalam pembukaan acara Sosialisasi dan Lokakarya Penilaian Ketahanan Daerah dalam Rangka Penurunan Indeks Risiko Bencana di Jakarta pada Rabu, 21 November 2018. Acara ini bertujuan untuk melakukan penilaian Indeks Ketahanan Daerah (IKD) pada lokus RPJMN 2015-2019, memvalidasi data IKD, membicarakan issue-issue terkini dalam upaya penanggualngan bencana, dan melakukan sinkronisasi program dan kegiatan di pusat dan daerah. Tidak kalah penting, acara sosialisasi dan penilaian ini juga dilakukan untuk memperoleh rekomendasi bagi penurunan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI) tahun 2018. Wisnu menyampaikan bahwa kejadian, dampak, dan risiko bencana tidak bisa dihindari karena jumlah penduduk yang terus meningkat, urbanisasi, kemiskinan, pengaruh perubahan iklim global, dan pembangunan infrastruktur yang menimbulkan risiko bencana baru. Oleh sebab itu, setelah mengetahui risiko bencana di suatu wilayah, langkah selanjutnya adalah dengan melakukan tata kelola upaya penanggulangan bencana yang lebih baik. Hal ini juga sejalan dengan perubahan paradigma upaya penanggulangan bencana di tingkat global, yaitu dari upaya responsif berfokus pada saat terjadinya bencana ke preventif yang menitikberatkan upaya sebelum kejadian bencana dan pengelolaan risiko bencana. Langkah ketiga untuk melakukan upaya pengelolaan risiko bencana adalah dengan melakukan investasi. Menurut Wisnu, pada hakikatnya bencana adalah investasi pembangunan, karena pembangunan yang memerhatikan risiko bencana akan dilakukan perkuatan pada sisi perencanaan, perbaikan desain, hingga berbagai upaya lain untuk menjamin keamanan bangunan dan infrastruktur. Berkaitan dengan investasi tersebut, Raditya Jati, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB, menyampaikan bahwa yang dilindungi adalah kerugian ekonomi (economic losses) dan perlu pemikiran pada perlindungan asset. Bilamana aset yang ada terlindung karena tahan terhadap hantaman bencana, maka orang yang tinggal di dalamnya dapat selamat, mereka yang bekerja tidak terganggu, dan kerugian pun dapat dihindari. Siklus inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem pengelolaan risiko bencana yang ditandai adanya perencanaan, kegiatan, pendanaan, investasi, pemeliharaan, rehabilitasi, dan pemantauan atau monitoring. Langkah terakhir manakala semua upaya sudah dilakukan adalah dengan terus menerus membangun kesiapsiagaan. Hal ini perlu dilakukan karena selalu ada hal-hal yang tidak terduga dan ketidaksiapan manakala bencana benar-benar terjadi. Pada beberapa jenis bencana, seperti gempabumi dan tsunami, skala waktu kejadiannya berbeda dengan skala kehidupan manusia, bahkan bisa mencapai ribuan tahun. Semua ketidakpastian dalam kejadian bencana dan upaya penanganannya tersebut menuntut upaya kesiapsiagaan untuk terus menerus dilakukan. Indeks Risiko dalam Perencanaan dan Penganggaran Dalam acara sosialisasi, juga dilakukan diskusi panel dengan narasumber dari BNPB, Bappenas, dan Kemendagri. Sumedi Andono dari Bappenas menyampaikan perencanaan pembangunan seperti RPJMN dan RPJMD yang berbasis PRB. Menurut Sumedi, dengan memasukkan pengelolaan risiko bencana dalam pembangunan akan dapat mengurangi dampak korban dan kerusakan. Pada kondisi tersebut, maka IRBI akan menjadi bagian dari suatu skenario dan proyeksi untuk perencanaan pembangunan yang lebih baik. Tanpa adanya IRBI, maka para perencana dan program pembangunan serta kegiatan pemerintah akan kesulitan melakukan strategi. Dengan demikian, Sumedi menyampaikan, bahwa IRBI menjadi dasar untuk memahami ancaman bencana, kerentanan, dan kapasitas suatu daerah, sehingga hasil akhir dari acara sosialisasi dan lokakarya yang berupa IRBI sangat penting untuk menyusun rencana pembangunan. Sumedi menambahkan, bahwa IKD sebagai komponen penyusun IRBI memiliki peran penting lain untuk penyempurnaan RPJMN lima tahun ke depan. Dalam hal ini, IKD sebagai instrumen untuk melakukan skenario dan proyeksi ke depan. Sebab, tanpa adanya skenario dan proyeksi, maka pemerintah di pusat dan daerah akan terjebak pada berbagai kegiatan rutin tanpa memerhatikan kerawanan bencana. Sebagai gambaran, Sumedi menyebutkan bahwa berbagai data ancaman bencana dari berbagai sumber, kemudian ditambahkan data infrastruktur dapat ditumpangsusun (overlay) di InaRISK untuk menjadi dasar informasi potensi korban dan kerugian. Dari informasi ini, maka selanjutnya dapat diperkirakan berbagai model spasial dinamik untuk trasportasi, tata ruang, lingkungan, manusia, sosial, ekonomi, dan lainnya. Setelah itu, dari berbagai informasi tersebut dapat ditentukan berbagai kebijakan, mulai dari adaptasi, mitigasi, hingga investasi. Sementara itu, Elvius Dailami, dari Kementerian Dalam Negeri mengupas tentang Standard Pelayanan Minimum (SPM) dalam bidang penanggulangan bencana. SPM ini bermula dari UU Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah dan PP Nomor 2 Tahun 2018 mengenai SPM. Aturan ini selanjutnya akan diikuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang saat ini posisinya sedang diundangkan di Kemenkumham tentang standard teknis SPM yang mengatur penganggaran untuk pengukuran IRBI. Dalam berbagai aturan tersebut, standard pelayanan minimum yang dimaksud di antaranya adalah pelayanan informasi rawan bencana, pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana, dan pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana. Kegiatan yang bisa dilakukan di antaranya adalah adanya kajian risiko bencana, rencana penanggulangan bencana, geladi, pengadaan peralatan untuk penanggulangan bencana, dan lainnya. Semua upaya ini dilakukan untuk mengelola risiko bencana yang lebih baik, mengurangi dampak dan kerugian bencana dan sesuai arahan Presiden Jokowi bahwa negara hadir di tengah masyarakat yang terkena dampak di kawasan rawan bencana dan menjadi korban bencana. Direktorat PRB - BNPB