Bencana dapat mengganggu dan merusak hasil-hasil pembangunan jika tidak ada upaya untuk mengurangi potensi kerugiannya di masa yang akan datang. Setelah gempa terjadi di Lombok dan Sumbawa pada akhir Juli hingga Agustus 2018, lebih dari  204 ribu rumah rusak. Selain itu, sekolah, kantor pemerintahan, pasar, dan jalan juga mengalami kerusakan. Gempa yang terjadi juga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka serta ribuan warga harus tinggal di pos-pos pengungsian. Potensi kerugian karena bencana disebut risiko bencana. Di Indonesia, risiko bencana ini tidak bisa dihindari dan hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana. Kondisi geologi dan geografi negara ini yang berada di pertemuan tiga lempeng raksasa, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, serta berada dalam wilayah cincin api (Ring of Fire) menyebabkan ratusan gunungapi dan juga zona subduksi yang menjadi pusat-pusat gempabumi tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, dari sisi hidrometeorologi, Indonesia terancam bencana longsor,  banjir dan kekeringan. Guna mengetahui tingkat risiko bencana di suatu daerah, BNPB telah menyusun Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun 2013. Berdasarkan IRBI tersebut, terdapat 136 kab/kota  memiliki risiko bencana tinggi dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Kab/Kota tersebut perlu diturunkan indeks risiko bencana. Penurunan ini  diamanatkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 sebesar 30% di tingkat nasional dari IRBI tersebut. Dalam rangka melakukan monitoring dan evaluasi IRBI, termasuk menurunkan indeks risiko bencana, pada 18-21 September 2018, Direktorat Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyelenggarakan Bimbingan Teknis Penilaian Mandiri Indeks Ketahanan Daerah (IKD). Acara ini dihadiri oleh 178 peserta yang terdiri dari Perwakilan Bappeda Provinsi, BPBD Provinsi, BNPB, Bappenas, JICA, APPSI, APEKSI, APKASI, UCLG, JICA, dan Fasilitator Naional. Raditya Jati selaku Direktur PRB mengatakan dalam sambutannya, bahwa upaya menurunkan indeks risiko bencana sangat penting untuk dilakukan dengan cara mengajak para kepala daerah untuk berkomitmen melakukan upaya ini. Hal tersebut penting karena penurunan indeks risiko bencana di kab/kota menjadi bagian dari standard pelayanan minimum.  Selain itu, komitmen kepala daerah juga diperlukan karena upaya pengurangan risiko bencana memerlukan sinergi lintas sektor dan peran. Sementara itu, Sumedi Andono, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Pedesaan, Bappenas menyampaikan bahwa perlu adanya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam rencana pembangunan daerah yang berbasis kebencanaan. Adapun Yoga Wiratama, dari Direktorat Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran, Kementerian Dalam Negeri mengingatkan tiga dokumen yang harus dimiliki daerah terkait kebencanaan, yaitu Kajian Risiko Bencana (KRB), Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), dan Rencana Kontijensi per Bencana. Ketiga dokumen yang dimiliki oleh kabupaten ini dapat dimutakhirkan oleh provinsi. IKD sendiri adalah instrumen untuk mengukur kapasitas daerah dengan asumsi bahwa bahaya atau ancaman bencana dan kerentanan di daerah tersebut kondisinya tetap. Tiga hal tersebut, yaitu indeks kapasitas, kerentanan, dan ancaman bencana adalah komponen penyusun IRBI. Oleh karenanya, dengan IKD yang mengukur kapasitas suatu daerah dapat dilakukan monitoring dan evaluasi naik dan turunnya IRBI di daerah tertentu. Dari IKD, maka setiap kab/kota mampu mengetahui apa saja upaya yang sudah dilakukan dan  langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk menurunkan  risiko. Para peserta juga diperkenalkan InaRISK, sebuah aplikasi untuk diseminasi hasil kajian risiko bencana, menyusun strategi rencana penanggulangan bencana, dan pemantauan IRBI. Dari InaRISK, para pengguna juga dapat mengunduh data spasial yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana atau data lain yang dapat digunakan untuk berbagai analisis. Selain dapat diakses di komputer menggunakan penelusur web, pengguna dapat memasang (install) InaRISK Personal di telepon genggam berbasis Android. Dari Google Play Store, pengguna dapat memilih untuk memasang InaRISK mobile yang menyajikan tampilan persis sama dengan versi web atau InaRISK personal yang menyajikan informasi kebencanaan di lokasi pengguna dan saran tindakan yang harus dilakukan jika bencana terjadi. Dalam Bimtek kali ini, para peserta didampingi oleh fasilitator nasional dan daerah untuk melakukan simulasi dan mengisi perangkat penilaian kapasitas daerah yang terdiri dari tujuh prioritas dan 71 indikator. Proses simulasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan perhitungan IKD menggunakan perangkat lunak khusus yang sudah disediakan. Dari kegiatan ini, diharapkan daerah-daerah dengan risiko tinggi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi mengetahui kapasitas dirinya sendiri dan mampu menentukan upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka menurunkan IRBI. Pada gilirannya, IKD yang menjadi salah satu unsur dalam KRB dapat menjadi rekomendasi kebijakan penanggulangan bencana di suatu daerah. Dengan penurunan IRBI, adanya KRB dan kebijakan penanggulangan bencana, maka diharapkan terwujud kabupaten atau kota yang tangguh menghadapi bencana. Direktorat PRB, BNPB