Ancaman bencana alam merupakan realitas yang sulit dihindari bagi sejumlah daerah di Indonesia. Posisi geografis Indonesia yang diapit dua samudera besar dunia, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang memungkinkan berbagai ancaman gelombang tinggi yang menerjang kawasan pesisir. Tidak terkecuali peluang gelombang tsunami seperti yang sudah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Posisi geologis Indonesia juga menjadi ancaman kebencanaan. Indoensia berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia, yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik memungkinan terjadinya berbagai tubrukan lempeng. Akibatnya, menimbulkan gempa yang berdampak hebat.

Bahkan, fenomena tanah bergerak atau likuifaksi juga berpotensi terjadi, seperti gempa Palu beberapa waktu lalu.

Tidak sampai di situ saja pada bagian selatan dan timur Indonesia terbentang sabuk vulkanik yang menghampar mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara sampai Sulawesi. Pada sisinya berdiri pegunungan vulkanik tua yang berstatus aktif.

Maka, kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Potensi bencana yang begitu hebat di wilayah Indoensia, sejatinya sudah dijelaskan pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pada bagian konsideran perundangan tersebut cukup jelas menyebutkan bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.

Realitas itulah yang sampai kini belum banyak dipahami masyarakat. Di mana ancaman kebencanaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Maka, keselamatan adalah hak individu, dalam perundangan juga mengatur keterlibatan dan peran yang optimal dari sejumlah elemen, termasuk masyarakat. Agar dapat berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana.

Bicara tentang peran masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana alam, tertuang pada Pasal 27, huruf (b) UU No. 24 Tahun 2007. Cukup jelas pada Pasal 27 bahwa setiap orang berkewajiban melakukan kegiatan penanggulangan bencana. Itu berarti negara mengundang setiap warga negara untuk terlibat baik langsung maupun tidak langsung.

Kemudian dalam pelaksanaan kewajiban tersebut, masyarakat pun berhak mendapatkan pelatihan kebencanaan. Sebagaiman diatur dalam Pasal 26, huruf (b) yang menyatakan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Selanjutnya pada huruf (e) menempatkan berhak partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penanggulangan bencana bagi dirinya dan komunitasnya.

Berbekal sejumlah pasal tersebut cukup tepat jika pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana secara aktif membentuk kelompok tanggap bencana di lingkungan warga. Terutama pada daerah perkotaan, seperti Jakarta dan sekitarnya.

Pembentukan kelompok tanggap bencana yang digawangi anak-anak muda terasa lebih tepat. Mengingat, populasi anak muda yang cukup besar. Sekaligus mengedukasi dan melatihnya sejak lebih dini, agar menjadi pribadi yang selalu siap terhadap bencana sampai usia menua.

Pada sisi lain terbentukan pemuda tanggap bencana di kawasan permukiman kota, dapat mendorong rasa solidaritas generasi muda. Menumbuhkan kecintaan pada lingkungan dan memupuk rasa peduli.

Di mana gambaran semangat itu kian memudar kini. Semoga keterlibatan pemuda ini mampu membantu peran pemerintah serta menjadi solusi atas kewaspadaan masyarakat terhadap bencana alam.

Peneliti Kebijakan Publik, Institute for Development of Policy and Local Partnership

Perlunya Pemuda Tanggap Bencana di Permukiman Kota