Masih lekat dalam ingatan, bencana gelombang tsunami yang terjadi akhir tahun  2018 lalu di Selat Sunda. Tsunami yang awalnya diduga akibat gempa, ternyata karena anak gunung Krakatau yang sedang batuk. Kelakuan anak gunung Krakatau ini memang di luar dugaan. Padahal BMKG selalu melakukan pemantauan. Tapi, namanya bencana memang sulit sekali diprediksi terjadinya. Walau sudah ada pendeteksi gempa atau tsunami, bisa kalah cepat juga. Menurut pak Lilik Kurniawan, Kepala Pemberdayaan Masyarakat BNPB, pada diskusi yang diselenggarakan oleh FMB 9 di gedung BMKG, 8 Februari 2019 lalu
"Baru lewat 40 hari memasuki tahun 2019, korban jiwa yang jatuh akibat bencana saja sudah mencapai 4000 orang, entah korban tsunami, tanah longsor, banjir bandang, dsb. Ini merupakan jumlah yang sangat besar". 
Banyaknya korban ini tentu menjadi perhatian pemerintah. Pada 2 Februari 2019 lalu, Presiden Joko Widodo sengaja menghadiri rapat koordinasi nasional (rakornas) kebencanaan yang dilakukan BNPB dan BPBD seluruh Indonesia. Presiden langsung memberikan beberapa arahan agar korban pada tiap bencana dapat diminimalisir, agar mitigasi bencana bisa dilaksanakan dengan maksimal.
Presiden menginginkan adanya pengaturan pengurangan resiko bencana dalam perencanaan pembangunan. Pemda juga diharapkan lebih tegas dalam pengelolaan tata ruang, hendaknya meminimalisir resiko bencana. Akademisi dan pakar bencana dilibatkan dalam memprediksi siklus ancaman, mengantisipasi, dan mengurangi dampak bencana.
Presiden mengharapkan semua pihak, mulai gubernur, sampai pangdam dan kapolda, turun langsung dalam penanganan kondisi darurat. Peringatan dini terpadu dengan berbagai pihak lebih dimaksimalkan.
dokpri
Pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah, hingga di masyarakat, terutama di daerah rawan bencana harus sudah dilakukan. BNPB sudah mulai melakukan pendidikan kebencanaan kepada ibu-ibu dan anak-anak. Karena mereka lah yang selama ini menjadi korban yang paling banyak.
Menurut pak Lilik, jika ibu-ibu diedukasi, mereka akan menularkan ilmu ini ke teman-temannya. Demikian juga anak-anak, mereka diharapkan tahu apa yang harus dilakukan saat dihadapkan pada kondisi bencana.Pendidikan ini diharapkan disesuaikan dengan karakteristik bencana di tiap daerah. Misalnya daerah yang rawan Tsunami, diajarkan mitigasi bencana tsunami. Jadi disesuaikan dengan kebutuhan tiap daerah. Simulasi dan pelatihannya harus dilakukan secara berkala, agar masyarakat bisa secara otomatis tanggap tiap menghadapi bencana. Papan peringatan dan rute evakuasi harus dipasang dengan jelas. Pentingnya mitigasi bencana yang tepat menjadikan pembuatan peta bencana menjadi hal yang tak boleh diabaikan. Pak Antonius Bambang Wijanarko, Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika menyebutkan, pembuatan peta dasar yang sama, harus dilakukan. Peta dasar merupakan peta topografi yang meliputi jalan, sungai, garis pantai, kontur, batas wilayah. Dengan adanya peta dasar, semua pihak bisa berbicara dan "bermain di papan catur yang sama" . Dengan bermain di papan catur yang sama, tumpang tindih atau over lapping bisa dikurangi. https://www.kompasiana.com/heribassista/5c6173df6ddcae6581244e5a/apakah-pemetaan-dan-mitigasi-bencana-penting?page=2